cerpen

Habis Gelap Terbitlah Terang

Posted on

Sayup-sayup terdengar langkah kaki dari dapur, sambil membawa sebaskom air. Tak ketinggalan di dalam baskom itu ada handuk kecil. Kayaknya untuk membersihkan sesuatu. Benar, handuk kecil itu ternyata untuk membersihkan tubuh anaknya yang duduk tak berdaya di kursi rodanya. Ia terlihat lesu, lemah dan seperti tak memiliki cahaya kehidupan. Entah, apa yang ada dalam benak anak itu. Pandangannya pun tak jelas kemana arahnya.

Sesekali ia memegang kakinya yang tak bisa digerakkan. Hanya ia pukul-pukul sedikit sambil sesekali menggerak-gerakkan ke depan. Meskipun gerakannya amat pelan. Tapi ia bersyukur bagian tubuh yang lain masih normal. Tapi meskipun kakinya tak bisa digerakkan, ia tak juga berputus asa. Tetap saja ia menikmati apa yang Tuhan berikan. Tanpa menghabiskan waktu mudanya hanya dengan menangis, meratapi kesedihan.

Nak, mandi sekarang ya? Ibu sudah siapkan air hangat di baskom. Oya. Seperti biasa ibu yang membasuh badanmu. Nanti kalau gak dimandiin baunya pasti menyengat. Kan gantengnya hilang? Dalam keserisan itu ibunya bercanda, supaya sang anak tak terlihat sedih. Anaknya pun tertawa sama ibunya.

“Gimana kursusnya, Nak?” Ibunya bertanya.

“Alhamdulillah lancar-lancar aja, Bu. Bahkan sekarang saya sudah dipercaya memperbaiki beberapa elektronik tempatnya Pak Budi. Alhamdulillah jg saya dikasih ongkos meski tak seberapa.” Jawab si Banu.

“Syukurlah,Nak. Mudah-mudahan ilmumu bermanfaat ya, Nak? Kalau masalah uang jangan dipikirkan. Kan uang mudah mencarinya, asal ilmu sudah kamu dapatkan.” Pesan ibu pada si Banu.

“Iya Bu.

Ibunya selalu memanggil anaknya dengan panggilan Nak, Meski usianya bukan lagi anak-anak. Maklum saat ini ia sudah menginjak usia 20 tahun.

Namanya si Banu, tapi sang ibu selalu setia menjaga anaknya semenjak masih orok. Ia terlahir memang prematur. Terlihat ibunya adalah sosok yang tabah. Meskipun saat ini ia tinggal berdua dengan anak satu-satunya. Ayahnya yang pensiunan guru itu wafat diusia yang relatif masih muda. Ia wafat karena penyakit jantung yang mendera. Tepat dua puluh tahun yang lalu ia meninggal di rumah sakit pemerintah. Beruntung ada tunjangan askes, jadi perawatan ditanggung perusahaan itu. Coba kalau nggak ada pastilah menjadi persoalan baru dalam kehidupan mereka. Tapi itulah musibah. Gak ada yang meminta dilahirkan dalam keadaan tubuh tak sempurna.

Sekarang masih mending, semua orang dilingkungannya mendukung usahanya untuk bisa belajar elektronik. Karena sewaktu kecil, si Banu acapkali menjadi bahan olok-olokan teman-teman dan para orang tua. Yang lebih kasihan lagi, ibunya, selalu saja dianggap pembawa sial. Mereka menganggap kelahiran si Banu akibat kecelakaan selama dikandungan. Bahkan ada yang lebih menyedihkan lagi, ternyata mereka menyebut ibunya Banu sebagai perempuan yang dikutuk, lantaran melahirkan anak cacat. Anak-anak yang selalu dianggap buruk dimata masyarakat kala itu.

Hai, perempuan pembawa sial. Ada dosa apa kamu melahirkan anak cacat seperti itu? Jangan-jangan kamu menyeleweng ya? Atau kamu terkena sumpah atau melanggar janji. Jadi dosanya tertimpa pada anakmu.” Cela tetangganya tatkala melihat Ibunya menggendonya berjalan-jalan di sekitar rumah. Kala itu usianya baru seumur jagung.

Mendengar celaan tetangganya, ibu si Banu hanya bisa bersabar. Meski sesekali menitikkan air mata, lantaran bersedih kenapa ia dan anaknya selalu menjadi bahan hinaan.

Dalam kesedihan itu, tak ada yang bisa menjadi tempat mengadu, suami sudah tiada. Hanya kepada Allah lah ia mengadukan segalanya. Semoga orang-orang yang menghinanya diberikan hidayah dan ampunan Allah SWT.

Tapi beruntung, saat ini mereka sudah mengenal si Banu seperti anak-anak pada umumnya, ia sudah tidak lagi menganggap rendah dan hina lantaran melihat antuasias si Banu belajar mandiri dan menekuni cita-citanya ingin menjadi ahli servis elektronik.

Umur yang panjang yang diberikan Tuhan ternyata begitu bermanfaat bagi si Banu. Ia terus belajar kursus meski harus menggunakan kursi roda. Meskipun awalnya ibunya sempat khawatir akan terjadi apa-apa pada dirinya. Dan Alhamdulillah selama satu tahun masa kursusnya itu, iapun mendapatkan sertifikat keahlian.

Sejak saat itu, di rumahnya ia sudah berani mandiri, membuka usaha servis elektronik. Tak hanya televisi dan radio, karena servis komputer pun sudah menjadi kegiatan hariannya.

Itulah kehidupan si Banu, meski dalam kekurangan ia tetap bersyukur dan belajar dengan tekun. Tak mengenal lelah, demi masa depan yang lebih baik.

M. Ali Amiruddn, (28.4.2015:20.47pm)